The Quran and David Hume: What Do Islamic Scholars Think?

Edward Philips

No comments

Dalam dialog intelektual antara agama dan filsafat, Quran dan pandangan David Hume sering kali berhadapan dalam diskusi tentang keberadaan Tuhan, keajaiban, dan natur iman. Meneliti sikap para cendekiawan Islam terhadap pandangan Hume memberikan pemahaman mendalam mengenai bagaimana teks suci dihadapkan dengan narasi skeptis dan filosofi ateisme serta deisme. Dalam konteks ini, penting untuk menganalisis beberapa elemen kunci yang menunjukkan interaksi antara Islam dan pemikiran filsafat Hume.

Salah satu pengamatan umum adalah bahwa Hume, dengan skeptisisme mendalamnya, menantang kepercayaan tradisional akan keajaiban yang sering kali dipertahankan oleh banyak pemeluk agama, termasuk dalam tradisi Islam. Dalam bukunya yang terkenal, “An Enquiry Concerning Human Understanding”, Hume menegaskan bahwa keajaiban, sebagai pelanggaran hukum alam yang telah terbukti, seharusnya ditolak karena kurangnya bukti empiris. Pemikiran ini dihadapkan pada prinsip-prinsip dasar dalam Islam yang mengakui mukjizat sebagai manifestasi kekuasaan Ilahi.

Cendekiawan Islam, seperti al-Ghazali dan Ibn Rushd, telah lama mengingatkan bahwa tuduhan Hume terhadap keajaiban adalah gerakan yang menegaskan tempat krisis bagi pemahaman iman. Al-Ghazali, dalam karya-karyanya, mengemukakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan manifestasi-Nya sering kali melampaui pemahaman manusia yang terbatas dan bahwa untuk memahami kedalaman iman, diperlukan sifat kepercayaan yang tidak semata-mata bergantung pada empirisme dan rasionalisme.

Satu aspek yang menguatkan kontroversi antara Hume dan cendekiawan Muslim adalah pembedaan antara ateisme dan deisme. Hume sendiri, meskipun sering dianggap dekat dengan posisi ateis, sebenarnya lebih sensitif terhadap spektrum pikir deistik. Dalam konteks ini, banyak cendekiawan Islam menekankan bahwa kritik Hume terhadap agama tidak serta merta menghapus dasar iman. Mereka melihat Hume sebagai penggugah yang seharusnya mendorong reformulasi dialog antara kepercayaan dan skeptisisme.

Konsep kebenaran dalam Islam dan analisis skeptis Hume menciptakan gerakan dialektis yang akan membawa para cendekiawan Muslim untuk mengeksplorasi dimensi baru dalam iman mereka. Dalam pandangan mereka, terlepas dari argumen-argumen Hume yang menekankan empirisme dan rasionalisme yang murni, kekuatan keimanan juga dapat dibangun atas fondasi pengalaman sufistik yang bertolak dari interioritas spiritual, menganggap bahwa kebenaran Tuhan melampaui verifikasi empiris.

Lebih jauh lagi, pemahaman mengenai epistemologi dalam Quran menawarkan pandangan yang memperluas cakrawala perspektif terhadap kritik Hume. Dalam tradisi Islam, terdapat pemisahan yang jelas antara ilmu pengetahuan yang eksperimental dan pengetahuan spiritual yang bersifat revelasional. Dengan begitu, banyak cendekiawan Islam berpendapat bahwa tidak ada kontradiksi yang mendasar antara penemuan ilmiah dan pemahaman spiritual yang terdapat dalam Quran, oleh sebab itu, pembacaan teks suci bisa bersifat multidimensional.

Isu lain yang diangkat oleh para cendekiawan adalah etika dan moralitas. Hume dikenal dengan argumennya tentang hubungan antara rasionalitas dan emosi dalam tindakan moral. Dalam hal ini, para sarjana Islam cenderung menjelaskan bahwa moralitas dalam Islam tidak hanya bertumpu pada rasio semata. Sebagai contoh, prinsip-prinsip Qurani menegaskan adanya nilai-nilai mutlak yang harus diikuti, yang mengacu pada kehendak Ilahi. Dalam banyak hal, ini menciptakan jembatan antara pendekatan rasional Hume dan moralitas teistik yang diajarkan dalam Quran.

Para teolog dan filsuf Muslim modern, dengan catatan yang lebih inklusif, berusaha untuk menjembatani dua dunia ini dengan argumentasi bahwa banyak pertanyaan yang diajukan oleh Hume tentang moralitas, eksistensi Tuhan, dan keajaiban sebenarnya dapat diresolusi melalui pendekatan dialogis yang terbuka. Cendekiawan Muslim seperti Fazlur Rahman dan Tariq Ramadan menyampaikan pentingnya adaptasi pemikiran inklusif yang tidak hanya mereduksi fenomena ke dalam narasi yang mendua, tetapi lebih pada pencarian kesatuan antara keimanan dan pengetahuan.

Pada akhirnya, hubungan antara Quran dan pemikiran David Hume melambangkan aneka kompleksitas yang dapat ditemukan dalam berbagai pandangan tentang eksistensi dan relevansi Tuhan dalam dunia modern. Sementara Hume memberikan tantangan terhadap tradisi dogmatis dalam memahami realitas, cendekiawan Islam memandangnya sebagai panggilan untuk memperdalam penghayatan spiritual dan intelektual yang tidak terpisahkan dari tradisi iman mereka. Dengan pendekatan reflektif ini, dapat disimpulkan bahwa dialog antara filsafat dan agama tetap kental dengan nuansa saling mempengaruhi dan mengeksplorasi magnitudo kebenaran yang lebih besar dalam konteks kehidupan manusia secara keseluruhan.

Tags:

Share:

Related Post

Leave a Comment