Why Do People Need Religion in the 21st Century?

Edward Philips

No comments

Di era modern ini, ketidakpastian dan perubahan yang cepat dalam masyarakat global sering kali menghasilkan kebutuhan yang mendalam akan sesuatu yang stabil dan bermakna dalam hidup manusia. Dalam konteks ini, pandangan tentang keagamaan, baik dari perspektif ateisme maupun deisme, menjadi semakin menarik untuk dibahas. Mengapa orang masih merasa perlu akan agama di abad ke-21? Pertanyaan ini mendorong kita untuk menjelajahi berbagai alasan yang mendasari ketertarikan orang terhadap agama dan spiritualitas, meskipun ada tren yang menunjukkan meningkatnya jumlah orang yang mendeklarasikan diri sebagai atheis.

Pertama-tama, kita perlu memahami fenomena ateisme, yang merupakan penolakan terhadap keberadaan Tuhan atau kekuatan adikodrati. Para ateis berpendapat bahwa manusia harus mengandalkan rasio dan ilmu pengetahuan sebagai sumber utama pengetahuan dan moralitas. Dalam pandangan ini, agama sering dianggap sebagai konstruk sosial yang berfungsi untuk mengatur masyarakat, namun pada gilirannya dapat menimbulkan divisifitas dan ekstremisme. Meskipun demikian, rinciannya menunjukkan bahwa meskipun ateis sering hidup tanpa dogma religius, mereka tetap mencari makna eksistensial dan tujuan hidup, hal-hal yang sebelumnya mungkin mereka cari dalam tradisi keagamaan.

Selanjutnya, ateisme tidak selalu berarti hilangnya kebutuhan akan komunitas dan dukungan emosional. Banyak orang, bahkan di kalangan yang tidak percaya pada Tuhan, menggantikan fungsi sosial agama dengan komunitas sekuler. Misalnya, banyak kelompok yang berdedikasi untuk kegiatan sosial dan lingkungan tumbuh di luar kerangka religius, menyediakan rasa keterhubungan dan tujuan yang sering dicari oleh individu. Dalam hal ini, kita bisa mengamati bahwa meski religiusitas mungkin menurun, kebutuhan akan ikatan sosial dan dukungan emosional tetap menjadi prioritas.

Secara kontrastif, deisme menghadirkan pandangan yang lebih kompleks tentang keberadaan Tuhan. Pengikut deisme percaya bahwa Tuhan ada, tetapi mereka tidak terikat pada dogma atau wahyu khusus yang sering diklaim oleh institusi keagamaan. Di zaman yang didominasi oleh sains dan rasionalitas, deisme memberikan ruang bagi individu untuk mempercayai adanya kekuatan adikodrati tanpa harus terjebak dalam struktur religiositas tradisional. Dengan kata lain, deisme menawarkan alternatif bagi orang-orang yang merindukan spiritualitas tetapi menolak keharusan doktrinalisme.

Satu hal menarik tentang deisme adalah bagaimana ia memenuhi kebutuhan manusia akan pencarian makna di dunia yang tampak tidak pasti. Konsep penciptaan yang rasional dalam deisme sering kali memicu rasa ingin tahu dan refleksi. Hal ini mendorong orang untuk terlibat dalam eksplorasi intelektual tentang alam semesta, moralitas, dan lokasi mereka di dalamnya. Individu dalam pendekatan ini cenderung merasa tertantang untuk memahami keberadaan Tuhan melalui lensa penalaran alih-alih melalui tradisi yang diwariskan.

Dari sisi lain, ada tren dalam psikologi yang menunjukkan bahwa hubungan dengan eksistensi yang lebih tinggi, entah melalui agama atau spiritualitas, dapat berdampak positif pada kesehatan mental. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa praktik-praktik religius dapat membawa ketenangan jiwa, mengurangi kecemasan, dan memberikan harapan saat menghadapi kesulitan hidup. Oleh karena itu, baik ateis maupun deis dapat memanfaatkan pengalaman spiritual yang kerap diadakan oleh struktur keagamaan tanpa harus mematuhi semua prinsip yang diyakini dalam doktrin mereka.

Penting untuk mencatat bahwa motivasi untuk mencari agama atau spiritualitas bukanlah hal yang statis. Alih-alih bergantung pada doktrin tertentu, orang-orang di abad ke-21 lebih cenderung untuk bersikap eklektikโ€”mengambil elemen dari berbagai tradisi spiritual untuk membentuk pandangan dunia mereka sendiri. Ketersediaan informasi dari internet dan akses ke berbagai pemikiran filosofi dan religius mendorong individu untuk merenungkan nilai-nilai dan keyakinan mereka. Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa kebangkitan spiritualitas yang bersifat pribadi atau spiritualitas baru (new age spirituality) lebih menarik minat di kalangan orang-orang yang tidak merasa terikat pada suatu tradisi tertentu.

Dalam konteks yang sama, kita tidak bisa mengabaikan peran agama dalam memberi identitas. Baik bagi individu yang religius maupun sekuler, identitas sering kali ditemukan di persimpangan antara komunitas, tradisi, dan nilai-nilai yang dipegang. Sementara ateis mungkin menemukan identitas mereka dalam praktik kedamaian, hak asasi manusia, dan kerja sosial, deis dapat menemukan identitas dalam hubungan mereka dengan penciptaan dan pengalaman spiritual yang berhubungan dengan kehidupan. Tentu saja, di tengah globalisasi dan pergeseran budaya, pencarian identitas ini sering kali berlangsung di antara pertukaran ide-ide yang kompleks dari berbagai latar belakang.

Dengan mempertimbangkan berbagai aspek di atas, jelas bahwa, meskipun jumlah individu yang mengidentifikasi diri sebagai atheis meningkat, kebutuhan akan makna, komunitas, dan identitas tetap menjadi pendorong yang kuat bagi banyak orang di 21st century. Melalui pandangan yang seimbang antara ateisme dan deisme, kita dapat mulai memahami alasan mendasar yang mendorong individu untuk terlibat dalam pencarian spiritual mereka, serta apa yang membuat agama, dalam segala bentuknya, tetap relevan meskipun dalam dunia yang semakin sekuler dan rasional.

Tags:

Share:

Related Post

Leave a Comment